Surabaya — Bertempat di Hedon Estate Resto Surabaya, sebuah konferensi pers digelar pada Senin 16 Juni 2025, pukul 19.00 WIB oleh tokoh masyarakat dan aktivis anti-mafia tanah untuk menyuarakan perjuangan hukum yang tengah berlangsung terkait rencana eksekusi rumah di Jalan Dr. Soetomo No. 55 Surabaya. Rumah tersebut merupakan milik Laksamana Soebroto Joedono yang kini diperjuangkan oleh pihak keluarga dengan dukungan dari Drg. David, Pembina GRIB Jatim dan LSM MAKI Jawa Timur.
Drg. David membuka pernyataannya dengan menekankan bahwa perjuangan ini bukan sekadar soal kepemilikan fisik, namun perjuangan untuk menegakkan keadilan di atas jalan kebenaran. Ia menuturkan bahwa eksekusi rumah yang direncanakan untuk ketiga kalinya oleh Pengadilan Negeri Surabaya tidak lepas dari dugaan rekayasa hukum dan praktik mafia tanah yang mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan sejarah panjang kepemilikan rumah oleh keluarga almarhumah Ibu Putri.
“Rumah itu sudah dihuni selama lebih dari 60 tahun sejak 1963 oleh keluarga Pak Puji Santoso. Mereka membayar pajak, mengurus administrasi, bahkan telah mengajukan proses sertifikasi. Namun tiba-tiba muncul klaim dari seseorang bernama Handoko yang memalsukan dokumen jual beli hingga muncul nama Tina dan Rudianto sebagai pihak yang menguasai rumah tersebut. Ini jelas bentuk kezaliman,” tegas Drg. David.
Ia juga mengungkap bahwa notaris yang terlibat dalam transaksi mencurigakan tersebut mangkir dari panggilan penyidikan sebanyak tiga kali, dan aparat penegak hukum terkesan membiarkan hal itu terjadi. “Seolah-olah mafia hukum dan mafia tanah ini bekerja sama. Kami minta agar Presiden Jokowi memberi perhatian serius. Ini bukan sekadar soal rumah, tapi menyangkut marwah hukum dan rasa keadilan rakyat kecil,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua MAKI Jawa Timur, Heru Satriyo, S.IP, menyampaikan sikap tegas terhadap indikasi keterlibatan mafia tanah dan mafia peradilan. Ia menyatakan bahwa pihaknya tidak berniat memaksakan siapa pun masuk penjara, namun mendesak agar aparat penegak hukum membuka ruang mediasi dan penyelesaian yang adil.
“Jangan sampai eksekusi ini menjadi bumerang sosial yang menimbulkan gejolak. Kita tidak ingin Jawa Timur menjadi ladang praktik mafia tanah. Kalau Presiden tidak bisa turun tangan, maka kami akan tempuh jalur rakyat. Kami akan terus dampingi Pak Puji, walau harus berjalan sendiri,” tegas Heru.
Dalam kesempatan tersebut, para tokoh juga meminta agar aparat kepolisian bersikap bijak dan tidak menjadi alat dari kepentingan mafia hukum. Drg. David bahkan menyatakan bahwa jika aparat tetap membiarkan eksekusi berlangsung tanpa memeriksa ulang bukti dan prosedur, maka mereka sama saja mendampingi “perampok” rumah rakyat kecil.
“Ini soal nurani, bukan hanya hukum. Kalau pun rumah itu benar dibeli, mana bukti pembayaran sahnya? Kalau hanya berdasarkan surat-surat tanpa dasar, itu sama saja menjual udara. Kami akan terus lawan ini,” pungkasnya.
Rencana eksekusi rumah di Jalan Dr. Sutomo No. 55, Kota Surabaya, oleh Pengadilan Negeri Surabaya memicu gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat dan organisasi pejuang keadilan.
Tiga kekuatan sipil, yaitu MAKI Jawa Timur (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia), GRIB Jaya (Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu), dan Cobra 08 menyatakan sikap tegas akan turun langsung ke lokasi untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dan dugaan mafia hukum yang membayangi proses eksekusi tersebut.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, rumah tersebut telah dihuni sejak tahun 1963 oleh keluarga Puji Santoso, dan dibeli secara sah dari instansi resmi TNI AL. Selama lebih dari enam dekade, keluarga ini secara rutin membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Namun ironisnya, properti tersebut kini terancam dieksekusi berdasarkan dokumen Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang masa berlakunya telah habis sejak tahun 1980.
Yang lebih mencurigakan, dokumen SHGB tersebut diduga digunakan oleh pihak-pihak yang kini berstatus tersangka dan bahkan masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dalam kasus pemalsuan surat tanah atas objek yang sama. Fakta ini menjadi dasar kecurigaan adanya permainan mafia tanah dan mafia hukum di balik rencana eksekusi tersebut.
Konferensi pers ini ditutup dengan seruan kepada media untuk terus mengawal kasus ini dan mendesak penundaan eksekusi sambil proses hukum yang masih berjalan diluruskan. Para tokoh juga mengajak masyarakat dan aktivis hukum untuk tidak diam terhadap praktik mafia tanah yang semakin merajalela di berbagai kota besar, termasuk Surabaya.@red